MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA
(Kajian Aspek Kebijakan Pembiayaan)*
Oleh: Dr. Andy Al Fatih, MPA**
Begitu tamat dari salah satu Sekolah
Menengah Atas swasta yang ternama dan credible
di kota Palembang pada tahun 2004, Rudi, begitu nama siswa yang potensial ini,
mendaftar dan ikut seleksi masuk pada Fakultas Kedokteran Universitas Gajah
Mada, Jogjakarta. Dahsyat!, anak ini diterima di Fakultas dan Universitas yang
bergengsi tersebut. Bisa dibayangkan, betapa berbunganya hati calon
mahasiswa ini, for sure, begitupun perasaan
orang tuanya, atas prestasi yang spektakuler ini. Namun, belum hilang eforia atas capaian akademik yang
mengagumkan ini, tiba-tiba, mereka merasa lunglai, terutama orang tua,
mengahadapi kenyataan bahwa mereka harus mengeluarkan uang sebesar
Rp.40.000.000,- yang harus disetorkan kepada pihak Universitas. Jauh panggang
dari api - apalagi Rudi masih punya saudara yang juga harus sekolah - mereka
ternyata tak sanggup untuk mengadakan biaya tersebut. Singkat kata, kesempatan
emas tersebut dilepaskan. Rudi urung jadi mahasiswa kedokteran UGM. Sebagai
gantinya, untuk sementara, dia bekerja
di sektor swasta.
Terdorong keinginan untuk maju secara
akademik, pada tahun 2005, Rudi mendaftar dan ikut test di Universitas Padjadjaran, Bandung. Dasar smart, Rudi diterima di jurusan Fisika, Fakultas MIPA di
universitas tersebut. Untuk jurusan dan universitas level ini, orang tua Rudi hanya harus mengeluarkan uang ‘pembangunan’
kurang dari Rp.1.000.000,- Kalau yang jumlah ini, orang tua Rudi sanggup memenuhinya.
Rudi mengulum senyum tanda gembira. Maka sejak saat itu, dia resmi menjadi
mahasiswa universitas negeri. (Kisah sejati).
Pendahuluan
Kebijakan publik merupakan
infrastruktur bagi berbagai tindakan pemerintah. Tanpa adanya hal tersebut,
tindakan pemerintah cenderung dianggap sebagai maladministration, baik dalam bentuk power abuse, misallocation of resources, misplacement of mandated objectives, corruption,
spoils system, arbitrariness, etc.
* Dosen Jurusan
Ilmu Administrasi Negara, FISIP dan Program Studi Magister Administrasi Publik
Program Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya.
Dengan demikian, kebijakan publik, apapun
bentuknya, merupakan suatu landasan hukum yang sah bagi Pemerintah untuk
mengambil atau tidak mengambil tindakan. Oleh karena itu, suatu kebijakan
publik haruslah dibuat dengan penuh pertimbangan dan diimplementasikan secara
baik agar kebijakan tersebut berdaya guna dan berhasil guna.
Di dalam bukunya yang berjudul
‘Implementasi Kebijakan dan Pemberdayaan Masyarakat’, Andy Al Fatih (2010:2)
menyatakan “kebijakan publik adalah setiap keputusan atau tindakan yang dibuat
secara sengaja dan sah oleh pemerintah yang bertujuan untuk melindungi
kepentingan publik, mengatasi masalah publik, memberdaya publik, dan
menciptakan kesejahteraan publik”. While, Thomas R. Dye (1992:2) claims “public
policy is whatever governments choose to do or not to do”.
Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk memberdaya,
mensejahterakan atau mengatasi masalah yang dihadapi oleh masyarakat atau
pemerintah. Untuk itulah, pemerintah membuat bermacam-macam kebijakan yang
berkenaan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian,
kebijakan publik dimaksudkan memberikan manfaat kepada masyarakat.
Salah
satu aspek kehidupan yang diatur oleh kebijakan publik adalah aspek pendidikan
yang dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional Negara Republik
Indonesia.
Kebijakan
Pendidikan di Indonesia
Pendidikan nasional Indonesia, terutama, berlandaskan pada konstitusi,
yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Seterusnya adalah Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Surat Keputusan
Pejabat Pemerintah di tingkat yang lebih bawah, atau bahkan, bisa juga ada,
Peraturan Daerah maupun Surat Keputusan Kepala Daerah.
Pembukaan
Undang Undang Dasar 1945 Negara Republik
Indonesia mengamanatkan pemerintah
Negara Republik Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.
Menurut
pasal 4 ayat 1 Undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003,
terbitan Sinar Grafika (2009:1-2), bahwa secara prinsip pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak azazi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan
bangsa. Selanjutnya, pasal 5 ayat 1 undang-undang tersebut menyatakan setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Program
wajib belajarpun juga diatur melalui kebijakan publik, yaitu Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia nomor 47 tahun 2008.
Ada
beberapa points yang penting dan perlu
diperhatikan dari statements yang
terdapat dalam kebijakan tersebut di atas, yaitu: bahwa pihak utama yang paling
bertanggung jawab atas pengadaan pendidikan di Indonesia adalah pemerintah
Indonesia, pendidikan adalah hak azazi setiap warga negara Republik Indonesia, pendidikan
yang diberikan adalah yang berkualitas,
pelayanan pendidikan bersifat adil serta tidak diskriminatif, dan pendidikan
tersebut untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kebijakan
pembiayaan Pendidikan di Indonesia
Seperti
dinyatakan di dalam pasal 49 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidik nasional, pada umumnya, pembiayaan, utama, pendidikan di Indonesia bersumber
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Alokasi dana untuk pendidikan, minimal, 20% dari APBN maupun
APBD tersebut.
Disamping itu, budget pendidikan juga bersumber dari masyarakat. Hal ini seperti
tercantum pada bab xv pasal 54 UU Sisdiknas tersebut. Ketentuan ini
ditindak-lanjuti dengan Peraturan Pemerintah nomor 48 tahun 2008 tentang
pendanaaan pendidikan, khususnya pasal 2 ayat 1 yang bunyinya “pendanaan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat”.
Sumber pendanaan pendidikan lain, yang
dalam prakteknya memang ada, khususnya untuk pendidikan tinggi, adalah berasal
dari kerjasama dengan pemerintah negara-negara lain. Ini diwujudkan melalui scholarship grant program kepada warga
negara Indonesia yang dianggap ‘berbobot’ untuk menjadi mahasiswa
dan menjalani studi di negara donor.
Realita
Situasi Pendidikan di Indonesia
Secara teoritis dan normatif, policy content tersebut di atas
kedengarannya sangatlah ideal dan akuntabel. Ia sangat membangkitkan gairah dan
menjanjikan. Bahkan, untuk menunjukan komitmen pemerintah terhadap kewajibannya
serta untuk memastikan bahwa setiap warga negara Indonesia mendapatkan
pendidikan, maka dibuatlah program wajib belajar untuk anak yang berunur antara
7 sampai dengan 15 tahun untuk jenjang pendidikan dasar.
Berpijak pada kebijakan di atas,
seolah-olah seorang warga negara Indonesia dapat dengan pasti, mudah, dan
lancar saja untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya. Namun dalam kenyataannya,
tidaklah demikian. Faktanya, masih banyak warga negara Indonesia yang belum
mendapat pendidikan. Alasannya beragam, diantaranya, alasan ekonomi, alasan
kondisi geografis, atau alasan mentalitas.
Untuk alasan ekonomi, masih cukup
banyaknya warga negara belum menikmati pendidikan sebab pendapatan suatu
keluarga secara riil memang belum kondusif untuk memenuhi kebutuhan pendidikan
anak-anak mereka , walaupun hanya untuk pendidikan dasar. Program wajib belajar
yang digadang-gadang oleh pemerintah, dalam implementasinya, belum menjadi
solusi yang berhasil guna. Ini karena kebijakan tersebut hanya berwujud
pembebasan biaya pendidikan saja (SPP), sedangkan biaya lainnya, seperti,
sepatu dan seragam sekolah, alat tulis-menulis serta buku masih harus
ditanggung oleh pribadi siswa masing-masing. Walaupun ada Bantuan Operasional
Sekolah, tetapi hal itu tidak memadai. Lebih dari itu, pembebasan biaya
pendidikan hanya berlaku untuk sekolah negeri saja. Kendala ekonomi lainnya
adalah, karena sulitnya mencari penghidupan, seringkali anak usia sekolah
dieksploitasi oleh orang tua mereka untuk keperluan lain di luar keperluan
sekolah.
Kendala kondisi geografis berwujud
masih cukup banyak anak-anak usia sekolah tinggal di daerah terpencil dan jauh
dari sekolah. Keadaan ini menyebabkan mereka sangat sulit untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan mereka.
Alasan terakhir, yaitu alasan
mentalitas. Situasi ini dimana anak-anak usia sekolah yang seharusnya menikmati
pendidikan. Namun kenyataannya, mereka tidak sekolah karena kurangnya motivasi
atau alasan kesehatan-psikologis lainnya.
Walaupun seringkali, kesalahan tidak
berpendidikannya anak-anak usia sekolah tersebut terletak pada pribadi atau
keluarga warga negara tersebut. Namun, tidak jarang juga, pemerintah takes it for granted. Padahal, sebagai
pemerintah, sikap pembenaran apa adanya tersebut tidaklah tepat. Asal tahu saja,
pemberdayaan sumber daya manusia sangat penting sebab ia bermanfaat untuk
menggerakan sumber-sumber lainnya, Sedarmayanti (2008:289). Bahkan H. D.
Sudjana S (2004:373), mengatakan, sumber daya manusia merupakan faktor dominan
dalam kemajuan bangsa. Bangsa yang SDMnya cerdas dapat maju pesat, walaupun
sumber daya lainnya kurang potensial.
Tidak akuntabelnya pemerintah kepada
pemangku kepentingan dalam masalah pendidikan ini terindikasi juga dari
kejadian seperti yang digambarkan dalam prologue
di atas. Tidak sedikit orang pintar Indonesia yang berada pada situasi
demikian. Beragam cara mereka mengatasi situasi tersebut. Sebagian dengan cara
yang bijak. Namun, ada sebagian lainnya menempuh cara yang ‘tragis’
Permasalahan pendidikan, tidak saja
tercermin dari seperti yang digambarkan di atas. Hal ini juga mencakup
kenyamanan dalam menjalani pendidikan tersebut. Ini, misalnya, menyangkut
kelayakan prasarana dan sarana yang ada, ketersedian buku, kualias dan
kuantitas tenaga pendidik, serta supporting
academic atmosphere lainnya.
Berdasarkan pada gambaran di atas, terlihat
bahwa kebijakan pendidikan di Indonesia lebih bersifat memperdaya daripada
memberdaya (deceiving rather than
empowering)
Mengapa
Masalah tersebut Timbul?
Permasalahan pendidikan, seperti yang digambarkan di atas, merupakan -
menurut istilah William Pierce, in Caiden (1991:116) –
wujud dari bureaucratic failure and malperformance. Dalam hubungannya dengan
pendapat Pierce tersebut, bentuk ‘kambing hitam’ atas timbulnya permasalahan
pendidikan di Indonesia. Diantaranya:
1. Displacement of mandated objectives > Pemerintah tidak amanah dalam implementasi
kebijakan. Louis W.Koenig, dalam George C. Edwards
III (1980) yang menyatakan “the great achilles heel of policy process is
implementation.
2. Technical inefficiency > poor management, lack of innovation >lemahnya project management
3. Corruption > conflicts of interest> Janji-janji politis
4. Lack of Coordination > Bentuk kelemahan lain yang jamak terjadi di Indonesia,
baik antar instansi, maupun antar sector.
5. Favoritism > “the governmental obligation to promote the public interest”.
Bahkan, in a moral and basic sense, it
must serve a ‘higher purpose’. Public
interest is a general guide for public administrator’s actions” (Rosenbloom
and Kravchuck: 2005: 7-8). Dalam hubungannya dengan kepentingan public,
paradigma administrasi Negara sudah berubah ke para digma administrasi publik
(Warsito Utomo: 2006:7)
6. Arbitrariness > Sumbangan
pendidikan dari masyarakat yang ‘semena-mena’
dan peruntukan yang ‘kurang jelas’, sistem pemberian nilai yang bersifat
subjektif, academic atmosphere yang
tidak demokratis, serta buka berpola kemitraan.
Kebijakan
Mempesona
Schumacker, dalam Harry Hikmat (2006,
terjemahan), menyatakan pemberdayaan adalah suatu keadaan dimana kelompok
miskin dapat diberdayakan melalui pengetahuan dan kemandirian sehingga dapat
berperan sebagai agen pembangunan.
Melihat
pernyataan dalam pembukaan UUD 1945 di atas, secara umum, jelas bahwa visi
kebijakan pemerintah, dalam hubungannya dengan dunia pendidikan, adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai visi ini, misi yang harus
dilaksanakan haruslah terukur dengan baik. Untuk itu ada beberapa solusi yang dapat dijalankan pemerintah, yaitu:
- Kebijakan pendidikan
dasar sampai menengah harus benar-benar membumi. Dalam hal ini, pemerintah
harus bertanggung jawab secara penuh mengenai pembiayaan pendidikan untuk
jenjang-jenjang tersebut. Lakukan innovasi dan terobosan. Sejauh
hubungannya dengan biaya pendidikan riil, maka pemangku kepentingan tidak
perlu mengeluarkan dana apapun. Disini, indikator yang digunakan harus
jelas terukur yaitu bahwa anak-anak usia sekolah dan para murid sekolah
lanjutan pergi ke sekolah untuk belajar serta tanpa beban dan kendala apapun.
- Rakyat yang cuma
tamatan sekolah menengah, kemungkinan besar, belum dapat dikatakan berada pada tahap
cerdas. Apalagi, untuk mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global, seperti yang tercantum dalam
pertimbangan perlunya UU Sisdiknas. Untuk itu, pemerintah harus
menciptakan situasi yang lebih kondusif agar mayoritas tamatan sekolah
menengah dapat melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang perguruan tinggi
dengan cara yang mudah, lancar, dan pasti. Bagi calon mahasiswa yang
sangat potensial untuk dikembangkan, maka kepada mereka diberlakukan merit system. Pemerintah harus
menyediakan fasilitas bagi mereka dan do
things out of box, sehingga mereka dapat diterima dan belajar di
bidang dan universitas yang mereka impikan. Dengan cara ini, kejadian yang
dialami Rudi tidak akan terulang lagi. Dalam hal ini, sistem quota bisa
dilakukan. Michael E. Porter, dalam
Riant Nugroho, terjemahan, (2004:49) mengungkapkan bahwa keunggulan
kompetitif dari setiap negara ditentukan seberapa mampu negara tersebut
mampu menciptakan lingkungan yang menumbuhkan daya saing dari setiap pelaku
di dalamnya.
Dana pendidikan yang 20% dari APBN atau
APBD harus ditegaskan digunakan, terutama, untuk hal- hal yang seperti itu.
Uang milik negara harus digunakan untuk memberdaya warga negara yang potensial,
bukan untuk memperdaya negara, seperti yang dilakukan oleh para koruptor maupun
manipulator seperti selama ini.
- Dalam kaitannya
dengan biaya pendidikan, pemerintah dapat menerapkan subsidi silang antara
calon mahasiswa yang mampu otak, tidak sanggup keuangan dengan calom
mahasiswa yang kurang sanggup otak, namun mampu secara finansial.
Dengan solusi di atas, kebijakan
pemerintah dalam bidang pendidikan diyakini akan memberdaya warga negara, bukan
memperdaya mereka.
- Pemerintah harus
selalu menggali sumber beasiswa bagi warga negara Indonesia yang potensial
untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Hal ini bisa dilakukan melalui
kerjasama dengan lebih banyak sponsor dari negara lain.
- Exchange program – for students, teachers,
lecturers, and supporting staff – sebaiknya dilaksanakan sesering mungkin. Ini dalam rangka
memperluas wawasan, peningkatan pengalaman, serta memajukan keterampilan.
Hal ini berguna untuk competitive
advantages agar sumber daya manusia Indonesia bisa bersaing di tingkat
global.
Penutup
Kebijakan
publik di bidang pendidikan belum kondusif untuk mencapai visi pendidikan,
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan berhasil dan dalam waktu yang
relatif singkat. Pembuatan dan implementasi kebijakan pendidikan harus
benar-benar down to earth.
Parameternya harus terukur dengan jelas (reasonably
measurable).
Bila negara mengurus rakyat dengan baik sehingga rakyat tersebut
menjadi cerdas, maka pada gilirannya nanti, rakyat yang cerdas tersebut akan
mengurus negara dengan baik pula. Inilah ‘buah manis’ dari adanya kebijakan
yang memberdaya rakyat. Sebaliknya, bila negara memperdaya rakyat, tunggu
saatnya, rakyat akan menggerogoti negara.
Daftar
Kepustakaan
Buku
Al Fatih, Andy, 2010, Implementasi Kebijakan dan Pemberdayaan
Masyarakat, Bandung
Unpad Press
Dye,
Thomas R, 1992, Understanding Public
Policy, New Jersey :
Prentice Hall Publishing
H.D,
Sudjana S., 2004, Manajemen Program Pendidikan, Bandung , Falah Production.
Koenig,
Louis W., dalam Edwards III, George C. 1980, Implementing Public Policy, Washington :
Congressional Quarterly Press
Pierce, William, dalam Caiden, Gerald E., 1991, Administrative Reform: Comes of Age,
Porter, Michael,
dalam Riant Nogroho, 2004, Kebijakan Publik: Formulasi,
Implementasi, dan Evaluasi, Jakarta , PT. Elex Media
Komputindo
Rosenbloom,
David H. and Kravchuck, Robert S., 2005, Public
Administration:
Understanding Management, Politics, and Law in
The Public Sector, New York
Mc Graw
Hill
Schumacker, dalam Harry Hikmat, 2006, Strategi
Pemberdayaan Masyarakat, Edisi
revisi,
Bandung, Penerbit Humaniora.
Sedarmayanti, 2008, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung, PT. Refika
Aditma
Utomo, Warsito, 2006, Administrasi Publik Baru
Indonesia, Yogyakarta, Putaka Pelajar
Sumber
lain-lain
Undang-Undang Negara Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan
Nasional
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 47 tahun 2008 tentang Wajib
Belajar
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 48 tahun 2008 tentang
Pendanaan
Pendidikan